Tradisi Barzanji, Antara Sakral dan Profan di Masjid Raya Campalagian
DOI:
https://doi.org/10.46870/jiat.v3i1.74Keywords:
Sakral, Simbol, Tradisi, BarzanjiAbstract
Ada banyak cara atau metode memanggil orang-orang untuk melaksanakan panggilan ibadah. Salah satunya adalah tradisi barazanji yang rutin dilaksanakan setiap malam Jum’at setelah shalat magrib berjamaah. Agenda rutin ini merupakan praktek yang telah turun-temurun dititiskan oleh para ulama-ulama sebagai upaya mensyi’arkan Islam. Hal ini dalam rangka untuk memudahkan masyarakat dalam mempraktekkan konsep ibadah ritual maupun sosial. Ada yang berbeda ketika praktek tersebut kita bandingkan dengan apa yang umum terjadi di daerah lainnya. Di tengah pembacaan teks barzanji, terdapat momen sakral yang disebut mahallul qiyam (asarakah), di mana para peserta diwajibkan berdiri dengan sikap merendahkan hati. Ungkapan simbolik ini terangkum dengan hadirnya buah-buahan seperti pisang, langsat, mangga, dan rambutan, sebagai salah satu bagian terpenting dalam kegiatan tersebut dan buah akan dibagikan kepada para jama’ah setelah pembacaan doa barzanji. Tidak ada yang mengetahui persis kapan tradisi ini dimulai dan mengapa harus buah yang dihadirkan dalam praktek tersebut. Namun, yang terpenting dari tradisi ini, terselip nilai-nilai simbolisasi yang memberikan kesan yang luhur bahwa para ulama-ulama dahulu dalam memberikan akses terbuka untuk menyampaikan ajaran Islam, tidak hanya dengan cara metode skriptual atau fundamentalis, juga tidak mengabaikan apsek sosial masyarakat yang mengitarinya, tetapi keduanya menyatu dalam bingkai budaya dan nilai spiritual Islam.